officer JL. MEMBERAMO 4 NO 18B KOTA MALANG 65123 HP 081805188880 - 0817380325

Muhammad SWT penutup pintu Kenabian


مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
وَلَكِنْ رَسُولَ اللهِ
“Tetapi dia adalah Rasulullah.”
Jumhur ahli qira`ah membaca لَكِنْ dengan takhfif tanpa tasydid, dan me-nashab-kan رَسُولَ sebagai khabar كَانَ yang di-taqdir-kan. Atau di-’athaf-kan kepada أَبَا أَحَدٍ. Sedangkan Abu ‘Amr dalam sebuah riwayat membaca dengan tasydid لَكِنَّ dan me-nashab-kan رَسُولَ sebagai isim-nya, sedangkan khabar-nya terhapus (mahdzuf). (Tafsir Fathul Qadir, Asy-Syaukani rahimahullahu)
وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ
“Dan penutup nabi-nabi.”
Ada dua bacaan dalam membaca lafadz ini:
Pertama: خَاتِمَ dengan huruf ta` yang di-kasrah, dan ini bacaan mayoritas qurra`. Menurut bacaan ini, maknanya adalah penutup para nabi.
Kedua: خَاتَمَ dengan huruf ta` yang di-fathah, dan ini qira`ah yang dinukilkan dari Al-Hasan rahimahullahu dan qira`ah ‘Ashim rahimahullahu. Menurut bacaan ini, maknanya adalah akhir para nabi. (Lihat Tafsir Ath-Thabari)

Penjelasan Makna Ayat
Ath-Thabari rahimahullahu mengatakan tatkala menjelaskan makna ayat ini: “Wahai manusia, Muhammad bukanlah bapak Zaid bin Haritsah. Bukan pula bapak dari salah seorang di antara kalian, yang tidak dilahirkan oleh Muhammad, sehingga diharamkan atasnya untuk menikahi istri Zaid setelah berpisah dengannya. Namun beliau adalah Rasul Allah dan penutup para nabi, yang menutup pintu kenabian dan mengakhirinya, sehingga tidak lagi terbuka bagi siapapun setelahnya hingga hari kiamat. Dan Allah Maha Mengetahui segala amalan dan ucapan kalian serta yang lainnya. Allah Maha berilmu, tidak ada yang tersamarkan atasnya sesuatu apapun.” (Tafsir Ath-Thabari)
Al-Allamah As-Sa’di rahimahullahu berkata:
“Rasul Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah bapak salah seorang dari laki-laki di antara kalian, wahai umat. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memutus hubungan nasab Zaid bin Haritsah darinya, karena perkara ini. Tatkala peniadaan tersebut bersifat umum pada seluruh keadaan, maka jika dipahami secara zahir pada lafadznya, bermakna: bukan bapak dalam hal nasab dan bukan pula bapak angkat. Dan telah ditetapkan pula sebelumnya bahwa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bapak bagi seluruh kaum mukminin, sedangkan istri-istri beliau adalah ibu-ibu bagi mereka. Maka untuk mengeluarkannya dari jenis ini, dengan larangan sebelumnya yang bersifat umum, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Namun Dia adalah Rasul Allah dan penutup para nabi”, yaitu kedudukan beliau adalah kedudukan orang yang ditaati dan diikuti, yang dijadikan sebagai pembimbing, yang diimani, yang wajib mendahulukan kecintaan kepadanya di atas kecintaan terhadap siapapun, yang senantiasa menasihati kaum mukminin. Karena kebaikan dan nasihatnya, beliau seakan-akan bagaikan seorang bapak bagi mereka. “Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”, yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih mengetahui di mana Dia meletakkan risalah-Nya, siapa yang berhak mendapatkan keutamaannya dan siapa yang tidak berhak.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman)
Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang untuk dikatakan (kepada Zaid bi Haritsah) setelah (turun ayat) ini ‘Zaid bin Muhammad’. Beliau bukan ayahnya walaupun telah mengangkatnya menjadi anak, sebab beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mempunyai satu anak laki-laki pun yang mencapai usia baligh. Beliau memiliki anak bernama Qasim, Thayyib, dan Thahir, dari Khadijah, namun mereka meninggal di masa kecil. Beliau juga dikaruniai Ibrahim dari Mariyah Al-Qibthiyyah, yang juga meninggal di masa masih menyusui. Dari Khadijah, beliau dikaruniai empat anak wanita: Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah radhiyallahu ‘anhum. Tiga orang meninggal semasa beliau masih hidup, adapun Fathimah meninggal enam bulan setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Qatadah rahimahullahu berkata tentang ayat ini: “(Ayat ini) turun berkenaan tentang Zaid, bahwa dia bukanlah anak beliau.” Juga diriwayatkan dari ‘Ali bin Husain. (Tafsir Ath-Thabari)

Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah Penutup Para Nabi
Ibnu Katsir rahimahullahu: “Ayat ini merupakan nash bahwa tidak ada Nabi setelah beliau. Jika tidak ada nabi setelah beliau, maka lebih utama dan lebih patut untuk tidak ada rasul setelahnya. Sebab kedudukan rasul lebih khusus dari kedudukan nabi, sebab setiap rasul adalah nabi dan tidak sebaliknya. Tentang hal ini telah datang hadits-hadits yang mutawatir dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sekelompok sahabat g. “ (Tafsir Ibnu Katsir)
Di antara hadits yang menjelaskan bahwa beliau adalah penutup para nabi dan rasul adalah:
1. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلِي وَمَثَلُ الْأَنْبِيَاءِ كَمَثَلِ قَصْرٍ أُحْسِنَ بُنْيَانُهُ وَتُرِكَ مِنْهُ مَوْضِعُ لَبِنَةٍ فَطَافَ بِهِ نُظَّارٌ فَتَعَجَّبُوا مِنْ حُسْنِ بُنْيَانِهِ إِِلَّا مَوْضِعَ تِلْكَ اللَّبِنَةِ لاَ يَعِيبُونَ غَيْرَهَا فَكُنْتُ أَنَا مَوْضِعَ تِلْكَ اللَّبِنَةِ خُتِمَ بِيَ الرُّسُلُ
“Permisalanku dan permisalan para nabi adalah seperti sebuah istana yang bangunannya indah dan ditinggalkan satu tempat batu bata. Maka orang-orang pun berkeliling melihatnya, lalu mereka kagum terhadap keindahan bangunannya kecuali tempat batu bata tersebut. Mereka tidak mencela selain itu. Maka aku adalah tempat batu bata tersebut, telah ditutup para rasul dengan diutusnya aku.” (HR. Ibnu Hibban no. 6406 dengan sanad yang shahih. Juga diriwayatkan dari hadits Ubai bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu, diriwayatkan oleh Ahmad, 5/136, At-Tirmidzi: 3613, Adh-Dhiya` Al-Maqdisi dalam Al-Mukhtarah: 1191)
2. Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرِّسَالَةَ وَالنُّبُوَّةَ قَدِ انْقَطَعَتْ فَلَا رَسُولَ بَعْدِي وَلَا نَبِيَّ
“Sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus, maka tidak ada Rasul setelahku dan tidak pula nabi.” (HR. At-Tirmidzi no. 2272, Ahmad, 3/267, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Dishahihkan oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi)
3. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فُضِّلْتُ عَلىَ الْأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ؛ أُعْطِيتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ، وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ طَهُورًا وَمَسْجِدًا، وَأُرْسِلْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً، وَخُتِمَ بِيَ النَّبِيُّونَ
“Aku lebih diutamakan atas para nabi dengan enam perkara: (1) aku diberi jawami’ul kalim (kalimat ringkas namun mengandung faedah yang banyak), (2) aku ditolong dengan rasa takut musuh (dari jarak perjalanan sebulan), (3) dihalalkan bagiku harta rampasan perang, (4) dijadikan bumi ini bagiku sebagai alat bersuci dan tempat shalat, (5) aku diutus kepada seluruh makhluk, (6) dan telah ditutup para nabi dengan diutusnya aku.” (HR. Muslim no. 523)
4. Juga berdasarkan hadits Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا مُحَمَّدٌ وَأَنَا أَحْمَدُ وَأَنَا الْمَاحِي الَّذِي يُمْحَى بِيَ الْكُفْرُ، وَأَنَا الْحَاشِرُ الَّذِي يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى عَقِبِي وَأَنَا الْعَاقِبُ وَالْعَاقِبُ الَّذِي لَيْسَ بَعْدَهُ نَبِيٌّ
“Aku adalah Muhammad, dan aku adalah Ahmad, aku adalah Al-Mahi (yang menghapus) yang kekafiran dihapuskan melalui (perantaraan) aku, aku adalah Al-Hasyir yang mana manusia dikumpulkan (setelah tegaknya hari kiamat) setelah diutusnya aku, dan aku adalah al-‘aqib (penutup) yang tidak ada nabi setelahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 3339 dan Muslim no. 2354)
Nash-nash ini menunjukkan bahwa siapa saja yang mengaku sebagai nabi setelah diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dipastikan bahwa dia adalah seorang pendusta dan dajjal yang menyesatkan umat ini. Walaupun dia berusaha menipu umat dengan mendatangkan keluarbiasaan, seperti terbang di udara atau berjalan di atas air. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُبْعَثَ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ قَرِيبٌ مِنْ ثَلَاثِينَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ رَسُولُ اللهِ
“Tidak tegak hari kiamat hingga dimunculkan para dajjal dan pendusta yang berjumlah kurang lebih tiga puluh yang seluruhnya mengaku bahwa dia adalah utusan Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 3413, Muslim no. 2923)
Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullahu berkata: “Setiap pengakuan kenabian setelah beliau adalah penyimpangan dan mengikuti hawa nafsu.”
Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullahu menjelaskan ucapan Abu Ja’far tersebut: “Berdasarkan (hadits) yang shahih bahwa beliau adalah penutup para nabi, diketahuilah bahwa siapa saja yang mengaku nabi setelahnya maka dia pendusta. Jika ada yang mengatakan: ‘Jika ada seseorang mengaku sebagai nabi dengan mendatangkan berbagai mukjizat yang luar biasa dan hujjah-hujjah yang benar, maka bagaimana mungkin didustakan?’
Maka kami mengatakan: ‘Ini tidak bisa terbayangkan wujudnya. Dan ini termasuk memberi anggapan sesuatu yang mustahil. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala tatkala mengabarkan bahwa beliau adalah penutup para nabi, adalah hal yang mustahil bila ada seseorang datang dan mengaku sebagai nabi lalu tidak tampak padanya tanda-tanda kedustaan pada pengakuannya’.” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, 1/167)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Bapak Pembimbing Manusia
Ayat di atas tidaklah meniadakan keberadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bapak pembimbing umat manusia. Sebab yang ditiadakan dalam ayat tersebut adalah bapak dalam hal nasab keturunan. Oleh karenanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ بِمَنْزِلَةِ الْوَالِدِ أُعَلِّمُكُمْ
“Sesungguhnya aku terhadap kalian kedudukannya sebagai ayah, aku mengajari kalian.” (HR. Abu Dawud no. 8, Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 1/173)
An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan beberapa penafsiran hadits ini:
Pertama: Ini adalah ucapan keakraban dan kasih sayang kepada yang diajak berdialog agar mereka tidak malu untuk bertanya kepada beliau dalam perkara agama yang mereka butuhkan, terkhusus yang menyangkut masalah aurat dan yang semisalnya. Maka beliau mengatakan: “Aku sebagai bapak, maka janganlah kalian malu kepadaku terhadap sesuatu, sebagaimana kalian tidak malu kepada bapak kalian sendiri.”
Makna ini yang paling dikuatkan oleh An-Nawawi rahimahullahu.
Kedua: Adalah kewajiban bagiku untuk mendidik kalian dan mengajari kalian perkara agama kalian, sebagaimana seorang ayah melakukan itu.
Ketiga: yaitu semangat dalam memberi kemaslahatan kepada kalian dan rasa kasih sayang kepada kalian. (Lihat Al-Majmu’, An-Nawawi, 2/128)
Dan mungkin pula kita mengatakan bahwa ketiga makna tersebut di atas adalah benar. Wallahu a’lam.
Terjadi perselisihan di kalangan para ulama tentang bolehnya menyebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bapak kaum mukminin. Sebagian ulama ada yang membolehkan untuk mengatakan: “Rasulullah adalah bapak kita”, namun sebagian ulama tidak membolehkannya, dan cukup mengatakan “Beliau seperti bapak kita”, atau “Beliau kedudukannya seperti bapak kita.” Pendapat kedua ini lebih baik dan lebih berhati-hati, dan ini yang dipilih oleh Ibnush Shalah rahimahullahu. (Lihat Fatawa Ibnush Shalah, 1/187)

Tidak ada komentar:

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP